Jumat, 13 September 2013

TIDAK BENAR ada MOU antara Dirjen AHU dg 11 Prodi mengenai Uken

informasu dari rekan : Syafran Sofyan
Diinformasikan..dari hasil rapat gabungan PP INI dg DKP hari ini di sekt ruko Roximas Jakpus tanggal 13 Oktober 2013...TIDAK BENAR ada MOU antara Dirjen AHU dg 11 Prodi mengenai Uken...hal tsb dikatakan lsg Dirjen AHU saat bertemu dg rekan Adrian Ketua Umum PP INI dua hari yl...Kode Etik Notaris/Uken adl kewenangan PP INI ...Untuk itulah PP INI akan sgr mengadakan Ujian Kode Etik sekitar mg ke.3 bl.Okt.2013...pendaftaran melalui Web PP INI..mulai senin dpn... Kemenkumham juga meminta PP INI mengkaji penguatan Etika profesi...untuk itu kita putuskan tadi akan sgr diadakan seminar...rencana sbg narasumber dari panja DPR..MA..dan Kemenkumham sekitar mg ke.3 Sept 2013.. Dibicarakan juga SK PP INI yg ditanyakan DPR kpd Kemenkumham...dan dg tegas dijelaskan..bahwa hal tsb menunjukan ketegasan Pem/Kemenkumham thd PP INI.
Sampai hari ini sudah ada permintaan Konferwil dari 17 Pengwil sd Okt 2013.. Yg sudah melaksanakan dg sukses Konferwil Sulselbar, sisanya 10 Pengwil akan sgr menyusul.....
Marilah rekan2 notaris...Alb..agar kita bersatu...kompak..demi meningkatnya harkat martabat profesi notaris...

Kamis, 12 September 2013

TATA CARA PERMOHONAN SURAT KETERANGAN WASIAT




Pengertian:

Surat Wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi.

Dasar Hukum :

Staatblad 1920 Nomor 305 tentang Ordonansi Daftar Wasiat.

Persyaratan:

a.       Akte kematian (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil setempat (Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 jis. Staatblad 1849 Nomor 25, Staatblad 1917 Nomor 130, Staatblad 1920 Nomor 751, Staatblad 1933 Nomor 75) atau sertifikat kematian (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) dari Instansi yang berwenang setempat, apabila almarhum/almarhumah meninggal dunia di luar negeri ;

b.      Surat Bukti Perubahan Nama (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) berupa salah satu dokumen sebagai berikut :

·        Penetapan Pengadilan Negeri yang berwenang setempat tentang Perubahan Nama Kecil (Pasal 93 Burgerlijken Stand voor de chinezen, Staatblad 1917 Nomor 130 jo. Staatblad 1919 Nomor 81).

·        Keputusan Menteri Hukum Republik Indonesia tentang izin Perubahan Nama (Undang-undang No. 4 Tahun 1961, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154).
·        Surat Pernyataan Ganti Nama yang disahkan dan dikeluarkan oleh Bupati/Walikota setempat (Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/KEP./12/1966 jo. Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 1968).

c.       Dokumen pendukung lainnya (foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) yaitu akte kelahiran, akte perkawinan, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.

d.      Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari  Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (apabila pembayaran langsung ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) atau dari Bank setempat (apabila dikirimkan melalui Bank setempat kepada Rekening Menteri Hukum c.q. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum  No. 0011779481 di Bank BNI 1946 Jakarta Cabang BNI Tebet).


Prosedur:

a.       Surat permohonan diajukan oleh pemohon atau kuasa pemohon yang ditujukan kepada Direktur Perdata c.q. Kepala Sub Direktorat Harta Peninggalan Direktorat Perdata Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan Jakarta Selatan.

b.      Permohonan dapat diajukan langsung ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau dikirim melalui pos.

c.       Permohonan yang diajukan langsung secara perorangan (bukan oleh Notaris/Instansi Pemerintah/Swasta) harus melampirkan Kartu Identitas pemohon berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP).

d.      Berkas permohonan yang sudah lengkap akan diproses dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja, sedangkan yang belum lengkap, diberitahukan dengan surat yang dikirim ke alamat pemohon atau diberitahukan langsung kepada kuasa pemohon.

ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU




Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus notaris merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.

Permasalahan  ini adalah bagaimana pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu. Dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan maka penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

Penelitian dilakukan di Kantor-kantor Notaris, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD) . Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan mempergunakan pedoman wawancara dan observasi lapangan.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan   suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta.Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.

Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.

Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut.

Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.

Disarankan kepada para semua pihak yang berkaitan dengan penerbitan akta otentik seperti pihak penghadap dan notaris, agar berhati-hati dan waspada dalam segala hal yang berhubungan dengan pembuatan akta, disamping itu juga diharapkan kepada pihak yang berkompeten seperti Majelis Pengawas Daerah, pihak kepolisian, pengadilan harus lebih selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris



CATATAN KECIL :
Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang Pejabat Umum. Akta yang dibuat oleh (door) Pejabat Umum, disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. Dan Akta yang dibuat di hadapan (ten overstan) Pejabat Umum, dalam praktek disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum.

Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Pejabat Umum tidak akan membuat akta yang dimaksud.

Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Pejabat Umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Pejabat Umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Pejabat Umum atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Pejabat Umum.

Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti Pejabat Umum sebagai pelaku dari akta tersebut, Pejabat Umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut.

Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata.

Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia.

Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka :

(1). para pihak datang kembali ke Pejabat Umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.

(2). jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, bilamana pihak dalam akta Notaris itu menuduh atau mendalilkan bahwa seorang Notaris telah mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (apalagi akta tersebut merupakan akta pihak/partij akten), maka hal itu tidaklah dibenarkan sebab tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah Notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab Notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta otentik.

Notaris hanya mengkonstatir/merumuskan apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.

Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.

Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut.

Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu.

Jadi bilamana para pihak (pengahadap) menuduh/mendalilkan Notaris telah memuat keterangan palsu dalam akta otentik maka yang patut untuk disalahkan atau dituduh telah memuat keterangan palsu adalah penghadap itu sendiri bukanlah Notaris, sebab akta itu berisi keterangan/kehendak para pihak (penghadap) sedang Notaris sendiri sekedar menuangkannya dalam akta otentik sesuai keinginan para pihak (penghadap).

FIDUSIA ULANG


Apakah yang dimaksud dengan "fidusia ulang" sebagaimana tercantum di dalam pasal 17 UUJF? 
Bagaimana kaitan fidusia ulang tersebut dengan pasal 28 UUJF?

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu pengertian dari Fidusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sebagai contoh, A meminjam uang kepada B. Sebagai jaminan, A menyerahkan BPKB motornya kepada B tetapi motor tersebut tetap dikuasai oleh A. Praktik ini termasuk fidusia karena hak kepemilikan motor A yang dibuktikan dengan BPKB telah diserahkan kepada B sedangkan penguasaan atas barang jaminan (motor) tetap pada A.

Kemudian Saudara menanyakan tentang “fidusia ulang” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 17 UUJF:

“Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar.”

Benda yang dijaminkan dengan cara fidusia baru akan mengikat setelah benda tersebut didaftarkan (lihat Pasal 11 ayat [1] jo. Pasal 14 ayat [3] UUJF). Cara pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut yang kami sarikan dari ketentuan Pasal 11 sampai Pasal 18 UUJF:
a.    Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
b.    Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran  jaminan fidusia;
c.    Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud di atas, memuat:
1. 
   Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
2.    Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
3.   
 Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
4.     
Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
5.   
 Nilai jaminan;
6.    Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
d.    Kantor pendaftaran fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;
e.    Kantor pendaftaran fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia sertifkat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;
f.     Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia;

Ketentuan mengenai pendaftaran fidusia dan biayanya juga diatur dalam PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusia-nya secara resmi hak kepemilikannya telah beralih ke penerima fidusia (kreditur). Sehingga, pemberi fidusia (debitur) tidak dapat melakukan fidusia lagi terhadap benda tersebut karena selama dijaminkan, benda tersebut adalah milik penerima fidusia.

Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 17 UUJF yang menyatakan bahwa, Fidusia ulang oleh Pemberi Fidusia, baik debitor maupun penjaminan pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia karena hak kepemilikan atas Benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia.

Terkait dengan Pasal 28 UUJF, memang dalam praktiknya bisa saja satu benda dibebankan oleh lebih dari satu perjanjian fidusia karena terdapat lebih dari satu kreditur. Akan tetapi, di antara perjanjian-perjanjian fidusia tersebut, yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya hanyalah perjanjian fidusia yang telah didaftarkan:

Pasal 28 UUJF

Apabila atas Benda yang sama menjadi obyek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia,maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia

Sekedar tambahan informasi, mengenai kewajiban mendaftarkan jaminan fidusia ini, saat ini telah berlaku peraturan terbaru yang mewajibkan pendaftaran fidusia untuk pembiayaan konsumen dalam hal pembelian kendaraan bermotor yaitu Permenkeu No. 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“Permenkeu 130/2012”). Perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia paling lambat 30 hari kalender sejak tanggal perjanjian pembiayaan dan tidak boleh menarik kendaraan bermotor sebelum Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya ke Perusahaan Pembiayaan (Pasal 2 jo. Pasal 3 Permenkeu 130/2012). Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanki administratif secara bertahap berupa (Pasal 5 ayat [1] Permenkeu 130/2012):
a.        a.   peringatan;
b.        b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c.    pencabutan izin usaha.

Jadi, satu benda yang sama dapat saja menjadi objek lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia. Akan tetapi, di antara perjanjian-perjanjian tersebut, hanya perjanjian yang telah didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia saja yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya bagi kreditur. Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusianya, tidak boleh dijaminkan fidusia lagi.


Dasar hukum:
3.   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia


Rabu, 11 September 2013

HATI-HATI TERHADAP PENGGUNAAN SKMHT UNTUK TAKE OVER KREDIT :

NOTARIS HARUS MEMAHAMI AGAR BERHATI-HATI TERHADAP PENGGUNAAN SKMHT UNTUK TAKE OVER KREDIT :

DALAM PROSES TAKE OVER KREDIT, DIMANA BANK YANG SATU AKAN MENGAMBIL ALIH FASILITAS KREDIT DEBITUR DARI BANK LAIN.

BANYAK INFORMASI DAN NOTARIS DITEKAN DAN DIATUR OLEH KLIEN UNTUK MASALAH TAKE OVER. PERLU DIKETAHUI BAHWA UNTUK PROSES TAKE OVER YANG HARUS DIPERSIAPKAN NOTARIS ADALAH :

1. PENGECEKAN FOTOCOPY SERTIFIKAT TIDAK DIPERKENANKAN, SEHINGGA PERLU NOTARIS MENYAMPAIKAN KEPADA PIHAK BANK AGAR PIHAK LEGAL/ADMINISTRASI KREDIT BANK SEBELUM MENGAMBIL ALIH KREDIT UNTUK DAPAT MEMINJAM SERTIFIKAT ASLI DARI BANK YANG AKAN DITAKE OVER.

2. TAKE OVER KREDIT HARUS DILAKUKAN PADA HARI YANG SAMA TANGGAL YANG SAMA SEHINGGA AKTA YANG KITA BUAT HARUS DAPAT MENGAKOMODASI UANG DARI BANK YANG MELAKUKAN TAKE OVER DARI BANK SEBELUMNYA. TERKAIT DENGAN MASALAH TANGGAL SURAT ROYA, HARUS TANGGAL YANG SAMA DENGAN TANGGAL AKTA DAN PROSES PENCAIRAN UANG UNTUK TAKE OVER.

3. BANYAK OKNUM NOTARIS MENGGUNAKAN SKMHT SEBAGAI SARANA SEBELUM SURAT ROYA KELUAR TANGGALNYA. INI PEMAHAMAN YANG SALAH.

4. SKMHT BUKAN ALAT ATAU SARANA UNTUK MENGIKAT JAMINAN SEBELUM TAKE OVER ATAU SEBELUM TANGGAL SURAT ROYA DIPASTIKAN TERBIT PADA HARI DIMANA BANK MENCAIRKAN DANA UNTUK TAKE OVER KREDIT.

SEKALI LAGI, SKMHT TIDAK DAPAT DIJADIKAN ALAT UNTUK MELAKUKAN TAKE OVER APABILA SURAT ROYA BELUM DIPASTIKAN TANGGALNYA .

5. NOTARIS SEBELUM MEMASTIKAN KE PIHAK BANK PERIHAL TANGGAL SURAT ROYA DAPAT TERBIT SAAT ITU JUGA DI HARI YG SAMA TANGGAL YG SAMA DENGAN TANGGAL PELAKSANAAN TAKE OVER DAN TANGGAL PENCAIRAN UANG , DILARANG MENGGUNAKAN SKMHT UNTUK MENJAMIN PENCAIRAN UANG.

INI MEMANG DILEMA DALAM MASALAH TAKE OVER, MANA TELUR DULU ATAU AYAM DULU. NAMUN NOTARIS HARUS TEGAS DAN JANGAN DISETIR PIHAK LAIN.

KARENA DI DALAM AKTA SKMHT DAN AKTA APHT TERDAPAT JANJI-JANJI DAN APABILA NEKAT OKNUM NOTARIS MENGGUNAKAN SKMHT SEBELUM TANGGAL SURAT ROYA DIPASTIKAN TERBIT HARI YG SAMA, TERJADI TUMPANG TINDIH HAK TANGGUNGAN.

6. TUMPANG TINDIH PEMBEBANAN JAMINAN YG DIIKAT HAK TANGGUNGAN TERJADI, DIMANA OKNUM NOTARIS MENGGUNAKAN AKTA SKMHT UNTUK MENJAMIN TRANSAKSI PENCAIRAN UANG.

DI BANK SEBELUMNYA JAMINAN SERTIFIKAT TELAH DIBERIKAN OLEH PEMILIK SERTIFIKAT/PENJAMIN (DISEBUT PEMBERI HAK TANGGUNGAN) TERDAPAT JANJI DAN KETENTUAN DALAM PERJANJIAN KREDIT SEBELUMNYA DILARANG MENGALIHKAN OBYEK JAMINAN SEBELUM KREDIT LUNAS, NAMUN APA YG TERJADI OKNUM NOTARIS APABILA NEKAT MENGGUNAKAN SKMHT SEBAGAI ALAT ATAU SARANA TAKE OVER TANPA SURAT ROYA TERBIT HARI YG SAMA, YAITU MENGIKAT JAMINAN SERTIFIKAT TERSEBUT KEMBALI DIMANA PEMILIK SERTIFIKAT/PENJAMIN MEMBERIKAN KUASA ULANG KEPADA BANK SELANJUTNYA YG AKAN MENGAMBIL ALIH JAMINAN (UNTUK DISEBUT PENERIMA KUASA). PADAHAL SURAT ROYA TIDAK DIPASTIKAN TERBIT HARI YANG SAMA.

"KATA-KATA YG SELALU MUNCUL DARI PIHAK BANK BAHWA NOTARIS LAIN BISA, INI KHAN HANYA SKMHT SAJA BUKAN APHT "

KESIMPULANNYA : HATI-HATI UNTUK TIDAK MEMBERIKAN YURISPRUDENSI KEPADA PIHAK BANK/KLIEN AKIBAT PERBUATAN OKNUM NOTARIS YANG SALAH MENGARTIKAN FUNGSI SKMHT . HORMATI NOTARIS LAIN AGAR TIDAK DIBANDING-BANDINGKAN DENGAN PERBUATAN OKNUM NOTARIS TERSEBUT YANG SEBENARNYA PAHAM ATAU PURA-PURA TIDAK PAHAM ATAU TIDAK MENGERTI. INI SUDAH MERUPAKAN TINDAKAN MALPRAKTEK PROFESI NOTARIS.

SEMOGA KITA SEMUA DAPAT DIJAUHKAN DARI HAL-HAL YG MENYESATKAN.AMIN.
 Sumber :  
Liezty Sabrina Muladi
https://www.facebook.com/groups/343027969111199/permalink/516284255118902/
 

Selasa, 10 September 2013

MK: Pengadilan Sengketa Perbankan Syariah Sesuai Kesepakatan Para Pihak


 
Gedung MK (ari/detikcom) 
 
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengubah peta hukum Indonesia yaitu membatalkan pasal yang terdapat dalam UU Perbankan Syariah. Pasal yang dibatalkan adalah pasal yang mengatur tentang pemilihan penyelesaian sengketa dalam dunia perbankan syariah.

Dengan dibatalkannya pasal 55 ayat 2 UU No.21/2008 tentang perbankan syariah, maka penyelesaian sengketa harus diselesaikan di salah satu pengadilan sesuai akad perjanjian. Jika akad perjanjian dibuat di pengadilan agama maka penyelesaian sengketa tidak boleh diselesaikan di pengadilan umum atau niaga, begitupun sebaliknya.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata ketua majelis hakim konstitusi, Akil Mochtar saat membacakan putusan, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (29/8/2013).

Dalam pertimbangannya, majelis menilai pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah memunculkan adanya ketidakpastian hukum.

Dia juga mengatakan adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah yang tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

"Adanya pilihan forum penyelesaian yang justru telah menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah," kata hakim konstitusi Arief Hidayat, saat membacakan pertimbangan hukum.

Majelis menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

"Sedangkan dalam UU yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah," lanjutnya Arief dalam pertimbangannya.

Permohonan pengujian UU Perbankan Syariah ini diajukan seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad yang menilai pasal yang mengatur pilihan penyelesaian sengketa itu membingungkan.
 
sumber : http://news.detik.com/read/2013/08/29/141924/2344206/10/mk-pengadilan-sengketa-perbankan-syariah-sesuai-kesepakatan-para-pihak
 
 

JABATAN NOTARIS TIDAK KEBAL HUKUM.


UUJN 30/2007 mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi,  berupa sanksi perdata, administrasi, demikian pula halnya dengan  Kode Etik Jabatan Notaris. Masalahnya ketika dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi  atau  perdata  berdasarkan UUJN dan Kode  Etik  Jabatan  Notaris,  tetapi kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana.  Mengkualifikasikan yang sedikian itu bisa saja berkaitan dengan aspek-aspek seperti:

a.       Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;
b.      Pihak yang menghadap notaris;
c.       Tanda tangan yang menghadap;
d.      Salinan akta tidak sesuai dengan dengan minuta akta;
e.       Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
f.        Minuta  akta  tidak  ditandatangani  secara  lengkap,  tapi  minuta  akta dikeluarkan.

Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian lahiriah, formil dan materil. Memperhatikan ketiga aspek nilai pembuktian tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan di pengadilan bahwa ada salah satu aspek yang tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya memiliki kekuatan pembuktian akta di bawah tangan. Memidanakan notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan dari notaris merupakan tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Aspek-aspek akta notaris tersebut di atas dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk mempidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek tersebut terbukti secara sengaja bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris untuk dijadikan suatu alat untuk melakukan tindak pidana. Pembuatan akta pihak atau akta relaas oleh notaris dilakukan secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang  diketahuinya  sebagai  tindakan  melanggar  hukum.

Apabila  hal  ini dilakukan di samping merugikan notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas sebagai notaris, diberi sebutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.

Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan yang dilanggar oleh notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan  menurut  UUJN  bahwa akta  yang  bersangkut an telah  sesuai dengan UUJN, tapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana.

Pemidanaan  terhadap  Notaris  dapat  saja  dilakukan  dengan  batasan, jika:
a.       Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir, formal dan materil akta yang disengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana;

b.      Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh  Notaris  yang  jika diukur  berdasarkan UUJN tidak  sesuai  menurut instansi yang berwenang; dan

c.       Tindakan  Notaris  tersebut   juga  tidak  sesuai  menurut   instansi  yang berwenang untuk menilai tindakan Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana disebutkan di atas dilanggar, artinya di samping memenuhi  rumusan  pelanggaran  yang  tersebut  dalam  UUJN,  Kode  Etik Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.

Bilamana  tindakan  notaris  memenuhi  rumusan  suatu  tindak  pidana, tetapi ternyata berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris bukan suatu pelanggaran, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana,  karena  ukuran  untuk  menilai  sebuah  akta  harus  didasarkan  pada UUJN dan Kode Etik Notaris.

Notaris dipidana tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pemanggilan notaris yang terdapat dalam pasal 66 UUJN dan hanya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja, merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan dianggap menyepelekan Pasal 66 UUJN.

Menurut Meijers, diperlukan adanya kesalahan besar (hard schuldrecht) untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan 
(wettenschappelijke  arbeiders)  seperti  Notaris.

Bagi  penyidik,  penuntut umum, dan hakim yang akan memeriksa Notaris harus dapat membuktikan kesalahan  besar  yang  dilakukan  Notaris  secara  intelektuil,  dalam  hal  ini  kekuatan logika (hukum) yang diperlukan untuk memeriksa Notaris, bukan logika  kekuatan  (berarti  kekuasaan)  yang  diperlukan  dalam  memeriksa Notaris.

Notaris tidak berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum atau  kebal terhadap  hukum.  Notaris  bisa saja dihukum pidana  jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak sengaja Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain-lain.
Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta notaris, pihak penyidik,  penuntut  umum  dan  hakim  akan  memasukkan  notaris  telah melakukan tindakan hukum:

a.       Membuat  surat  palsu  atau  memalsukan  (disebut  kejahatan  pemalsuan surat), memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP).

b.      Perbuatan  pemalsuan  atau  menggunakan  surat-surat  yang  dipalsukan (Pasal 264 KUHP).

c.       Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal 266  KUHP).

d.      Melakukan,  menyuruh  melakukan,  turut  serta melakukan (Pasal 55  jo. Pasal 263 ayat (1), (2), Pasal 264, Pasal 266 KUHP).

e.       Membantu melakukan suatu perbuatan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal  263 ayat (1), (2), Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP).

Menurut teori dan praktik ada beberapa bentuk kepalsuan yang dapat ditujukan terhadap akta otentik. Tujuan mengajukan tuntutan kepalsuan terhadap akta otentik, guna untuk melumpuhkan kekuatan pembuktian yang melekat padanya. Bentuk tuntutan kepalsuan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1.         Kepalsuan Intelektual

Tuduhan kepalsuan ini ditujukan terhadap isi keterangan yang tercantum di dalamnya, berlawanan dengan yang sebenarnya atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemalsuan intelektual dapat terdiri atas:
Pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, yang mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaran,
hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi yang tidak benar.

2.         Kepalsuan Materiil

Kepalsuan materiil pada dasarnya hampir sama dengan kepalsuan intelektual. Hanya dalam kepalsuan materiil, tidak hanya ditujukan pada kepalsuan isi, tetapi   juga kebenaran tanda        tangan.     Seseorang dapat mengingkari kebenaran  tanda  tangan  yang  tercantum dalam  akta  otentik. Kepalsuan materiil dapat meliputi:

1)      Kepalsuan tanda tangan

2)      Kepalsuan dalam bentuk dan isi atas alasan:
a)      Terdapat penghapusan isi
b)      Mengandung penukaran
c)      Terdapat penambahan

3)      Penyalahgunaan tanda tangan di bawah blanko

Hal  lain  yang  dapat  dituntut  untuk  menyangkal akan  kebenaran  akta otentik  adalah  penyalahgunaan  tanda  tangan  blanko  atau  abus  de  blanc seingn. Pengadilan sering menerima pengajuan keberatan atau bantahan terhadap peristiwa blanc seign ini baik dalam jual beli atau utang piutang. Pembeli dan penjual disuruh menandatangani blanko kosong. Berdasarkan blanko kosong yang ditandatangani itu, terbit akta jual beli atau akta pengakuan utang.