Kamis, 12 September 2013

ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU




Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus notaris merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.

Permasalahan  ini adalah bagaimana pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu. Dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan maka penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

Penelitian dilakukan di Kantor-kantor Notaris, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD) . Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan mempergunakan pedoman wawancara dan observasi lapangan.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan   suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta.Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.

Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.

Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut.

Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.

Disarankan kepada para semua pihak yang berkaitan dengan penerbitan akta otentik seperti pihak penghadap dan notaris, agar berhati-hati dan waspada dalam segala hal yang berhubungan dengan pembuatan akta, disamping itu juga diharapkan kepada pihak yang berkompeten seperti Majelis Pengawas Daerah, pihak kepolisian, pengadilan harus lebih selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris



CATATAN KECIL :
Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang Pejabat Umum. Akta yang dibuat oleh (door) Pejabat Umum, disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. Dan Akta yang dibuat di hadapan (ten overstan) Pejabat Umum, dalam praktek disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum.

Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Pejabat Umum tidak akan membuat akta yang dimaksud.

Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Pejabat Umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Pejabat Umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Pejabat Umum atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Pejabat Umum.

Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti Pejabat Umum sebagai pelaku dari akta tersebut, Pejabat Umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut.

Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata.

Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia.

Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka :

(1). para pihak datang kembali ke Pejabat Umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.

(2). jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, bilamana pihak dalam akta Notaris itu menuduh atau mendalilkan bahwa seorang Notaris telah mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (apalagi akta tersebut merupakan akta pihak/partij akten), maka hal itu tidaklah dibenarkan sebab tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah Notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab Notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta otentik.

Notaris hanya mengkonstatir/merumuskan apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.

Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.

Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut.

Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu.

Jadi bilamana para pihak (pengahadap) menuduh/mendalilkan Notaris telah memuat keterangan palsu dalam akta otentik maka yang patut untuk disalahkan atau dituduh telah memuat keterangan palsu adalah penghadap itu sendiri bukanlah Notaris, sebab akta itu berisi keterangan/kehendak para pihak (penghadap) sedang Notaris sendiri sekedar menuangkannya dalam akta otentik sesuai keinginan para pihak (penghadap).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar