Notaris merupakan pejabat umum
yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus
notaris merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris
harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan
serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum
kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung
jawab hukum dan tanggung jawab moral.
Permasalahan ini adalah bagaimana pertanggung jawaban
notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu, bagaimana
sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam
akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang
mengandung keterangan palsu. Dalam rangka memberikan jawaban terhadap
permasalahan maka penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yang
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
Penelitian dilakukan di
Kantor-kantor Notaris, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Majelis Pengawas
Daerah (MPD) . Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi
kepustakaan dan studi lapangan dengan mempergunakan pedoman wawancara dan
observasi lapangan.
Dari penelitian yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang
mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan
suatu perbuatan hukum yang dilakukan
oleh para pihak/penghadap ke dalam akta.Notaris hanya mengkonstatir apa yang
terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut
berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu
menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki
kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut
akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan
oleh para pihak/penghadap.
Adapun sanksi yang dapat
diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik
adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian
yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap
layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari
pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan
pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan
keterangan palsu dalam akta otentik”.
Akibat hukum terhadap akta
otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah
menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak
yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar
hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut.
Dengan adanya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya
tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan
sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan
itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.
Disarankan kepada para semua
pihak yang berkaitan dengan penerbitan akta otentik seperti pihak penghadap dan
notaris, agar berhati-hati dan waspada dalam segala hal yang berhubungan dengan
pembuatan akta, disamping itu juga diharapkan kepada pihak yang berkompeten
seperti Majelis Pengawas Daerah, pihak kepolisian, pengadilan harus lebih
selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris
CATATAN KECIL :
Akta yang dibuat oleh (door)
atau di hadapan (ten overstan) seorang Pejabat Umum. Akta yang dibuat
oleh (door) Pejabat Umum, disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara
yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat
Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para
pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. Dan Akta yang
dibuat di hadapan (ten overstan) Pejabat Umum, dalam praktek disebut
Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang
diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum.
Para pihak berkeinginan agar
uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.Pembuatan
akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti
dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming)
dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak
ada, maka Pejabat Umum tidak akan membuat akta yang dimaksud.
Untuk memenuhi keinginan dan
permintaan para pihak Pejabat Umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak
pada aturan hukum. Ketika saran Pejabat Umum diikuti oleh para pihak dan
dituangkan dalam akta otentik, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap
merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat
Pejabat Umum atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau
tindakan Pejabat Umum.
Pengertian seperti tersebut di
atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini
tidak berarti Pejabat Umum sebagai pelaku dari akta tersebut, Pejabat Umum
tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut.
Dengan kedudukan Pejabat Umum
seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap
kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut
serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau
sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata.
Penempatan Pejabat Umum sebagai
pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau
menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat
Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan
Pejabat Umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan
institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai
kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia.
Dalam tataran hukum yang benar
mengenai akta otentik, jika suatu akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak,
maka :
(1). para pihak datang kembali ke
Pejabat Umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang
dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala
akibat dari pembatalan tersebut.
(2). jika para pihak tidak
sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat
menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik
menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa
gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah
didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini
tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa, bilamana pihak dalam akta Notaris itu menuduh atau
mendalilkan bahwa seorang Notaris telah mencantumkan keterangan palsu dalam
akta otentik (apalagi akta tersebut merupakan akta pihak/partij akten), maka
hal itu tidaklah dibenarkan sebab tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik
yang mengandung keterangan palsu adalah Notaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum sebab Notaris hanya mencatat atau menuangkan
suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta
otentik.
Notaris hanya
mengkonstatir/merumuskan apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya
dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil
dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak
diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut.
Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.
Adapun sanksi yang dapat
diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik
adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian
yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap
layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari
pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan
pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan
keterangan palsu dalam akta otentik”.
Akibat hukum terhadap akta
otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah
menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak
yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar
hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut.
Dengan adanya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya
tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan
sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan
itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu.
Jadi bilamana para pihak
(pengahadap) menuduh/mendalilkan Notaris telah memuat keterangan palsu dalam
akta otentik maka yang patut untuk disalahkan atau dituduh telah memuat
keterangan palsu adalah penghadap itu sendiri bukanlah Notaris, sebab akta itu
berisi keterangan/kehendak para pihak (penghadap) sedang Notaris sendiri
sekedar menuangkannya dalam akta otentik sesuai keinginan para pihak
(penghadap).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar