Selasa, 10 September 2013

JABATAN NOTARIS TIDAK KEBAL HUKUM.


UUJN 30/2007 mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi,  berupa sanksi perdata, administrasi, demikian pula halnya dengan  Kode Etik Jabatan Notaris. Masalahnya ketika dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi  atau  perdata  berdasarkan UUJN dan Kode  Etik  Jabatan  Notaris,  tetapi kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana.  Mengkualifikasikan yang sedikian itu bisa saja berkaitan dengan aspek-aspek seperti:

a.       Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;
b.      Pihak yang menghadap notaris;
c.       Tanda tangan yang menghadap;
d.      Salinan akta tidak sesuai dengan dengan minuta akta;
e.       Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
f.        Minuta  akta  tidak  ditandatangani  secara  lengkap,  tapi  minuta  akta dikeluarkan.

Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian lahiriah, formil dan materil. Memperhatikan ketiga aspek nilai pembuktian tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan di pengadilan bahwa ada salah satu aspek yang tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya memiliki kekuatan pembuktian akta di bawah tangan. Memidanakan notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan dari notaris merupakan tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Aspek-aspek akta notaris tersebut di atas dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk mempidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek tersebut terbukti secara sengaja bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris untuk dijadikan suatu alat untuk melakukan tindak pidana. Pembuatan akta pihak atau akta relaas oleh notaris dilakukan secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang  diketahuinya  sebagai  tindakan  melanggar  hukum.

Apabila  hal  ini dilakukan di samping merugikan notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas sebagai notaris, diberi sebutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.

Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan yang dilanggar oleh notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan  menurut  UUJN  bahwa akta  yang  bersangkut an telah  sesuai dengan UUJN, tapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana.

Pemidanaan  terhadap  Notaris  dapat  saja  dilakukan  dengan  batasan, jika:
a.       Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir, formal dan materil akta yang disengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana;

b.      Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh  Notaris  yang  jika diukur  berdasarkan UUJN tidak  sesuai  menurut instansi yang berwenang; dan

c.       Tindakan  Notaris  tersebut   juga  tidak  sesuai  menurut   instansi  yang berwenang untuk menilai tindakan Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana disebutkan di atas dilanggar, artinya di samping memenuhi  rumusan  pelanggaran  yang  tersebut  dalam  UUJN,  Kode  Etik Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.

Bilamana  tindakan  notaris  memenuhi  rumusan  suatu  tindak  pidana, tetapi ternyata berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris bukan suatu pelanggaran, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana,  karena  ukuran  untuk  menilai  sebuah  akta  harus  didasarkan  pada UUJN dan Kode Etik Notaris.

Notaris dipidana tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pemanggilan notaris yang terdapat dalam pasal 66 UUJN dan hanya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja, merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan dianggap menyepelekan Pasal 66 UUJN.

Menurut Meijers, diperlukan adanya kesalahan besar (hard schuldrecht) untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan 
(wettenschappelijke  arbeiders)  seperti  Notaris.

Bagi  penyidik,  penuntut umum, dan hakim yang akan memeriksa Notaris harus dapat membuktikan kesalahan  besar  yang  dilakukan  Notaris  secara  intelektuil,  dalam  hal  ini  kekuatan logika (hukum) yang diperlukan untuk memeriksa Notaris, bukan logika  kekuatan  (berarti  kekuasaan)  yang  diperlukan  dalam  memeriksa Notaris.

Notaris tidak berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum atau  kebal terhadap  hukum.  Notaris  bisa saja dihukum pidana  jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak sengaja Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain-lain.
Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta notaris, pihak penyidik,  penuntut  umum  dan  hakim  akan  memasukkan  notaris  telah melakukan tindakan hukum:

a.       Membuat  surat  palsu  atau  memalsukan  (disebut  kejahatan  pemalsuan surat), memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP).

b.      Perbuatan  pemalsuan  atau  menggunakan  surat-surat  yang  dipalsukan (Pasal 264 KUHP).

c.       Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal 266  KUHP).

d.      Melakukan,  menyuruh  melakukan,  turut  serta melakukan (Pasal 55  jo. Pasal 263 ayat (1), (2), Pasal 264, Pasal 266 KUHP).

e.       Membantu melakukan suatu perbuatan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal  263 ayat (1), (2), Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP).

Menurut teori dan praktik ada beberapa bentuk kepalsuan yang dapat ditujukan terhadap akta otentik. Tujuan mengajukan tuntutan kepalsuan terhadap akta otentik, guna untuk melumpuhkan kekuatan pembuktian yang melekat padanya. Bentuk tuntutan kepalsuan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1.         Kepalsuan Intelektual

Tuduhan kepalsuan ini ditujukan terhadap isi keterangan yang tercantum di dalamnya, berlawanan dengan yang sebenarnya atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemalsuan intelektual dapat terdiri atas:
Pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, yang mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaran,
hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi yang tidak benar.

2.         Kepalsuan Materiil

Kepalsuan materiil pada dasarnya hampir sama dengan kepalsuan intelektual. Hanya dalam kepalsuan materiil, tidak hanya ditujukan pada kepalsuan isi, tetapi   juga kebenaran tanda        tangan.     Seseorang dapat mengingkari kebenaran  tanda  tangan  yang  tercantum dalam  akta  otentik. Kepalsuan materiil dapat meliputi:

1)      Kepalsuan tanda tangan

2)      Kepalsuan dalam bentuk dan isi atas alasan:
a)      Terdapat penghapusan isi
b)      Mengandung penukaran
c)      Terdapat penambahan

3)      Penyalahgunaan tanda tangan di bawah blanko

Hal  lain  yang  dapat  dituntut  untuk  menyangkal akan  kebenaran  akta otentik  adalah  penyalahgunaan  tanda  tangan  blanko  atau  abus  de  blanc seingn. Pengadilan sering menerima pengajuan keberatan atau bantahan terhadap peristiwa blanc seign ini baik dalam jual beli atau utang piutang. Pembeli dan penjual disuruh menandatangani blanko kosong. Berdasarkan blanko kosong yang ditandatangani itu, terbit akta jual beli atau akta pengakuan utang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar