UUJN 30/2007 mengatur bahwa
ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan
pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, demikian
pula halnya dengan Kode Etik Jabatan
Notaris. Masalahnya ketika dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa suatu
tindakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat
dijatuhi sanksi administrasi atau perdata
berdasarkan UUJN dan Kode
Etik Jabatan Notaris,
tetapi kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana. Mengkualifikasikan yang sedikian itu bisa
saja berkaitan dengan aspek-aspek seperti:
a.
Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul
menghadap;
b.
Pihak yang menghadap notaris;
c.
Tanda tangan yang menghadap;
d. Salinan akta tidak sesuai dengan dengan
minuta akta;
e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta
akta; dan
f.
Minuta akta
tidak ditandatangani secara
lengkap, tapi minuta
akta dikeluarkan.
Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian
lahiriah, formil dan materil. Memperhatikan ketiga aspek nilai pembuktian
tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan di pengadilan bahwa ada
salah satu aspek yang tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya memiliki
kekuatan pembuktian akta di bawah tangan. Memidanakan notaris berdasarkan
aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian yang mendalam dengan mencari
unsur kesalahan dari notaris merupakan tindakan tanpa dasar hukum yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Aspek-aspek akta notaris tersebut di atas dapat saja dijadikan dasar atau
batasan untuk mempidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek tersebut terbukti
secara sengaja bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris untuk
dijadikan suatu alat untuk melakukan tindak pidana. Pembuatan akta pihak atau
akta relaas oleh notaris dilakukan secara sadar, sengaja untuk secara
bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan melakukan atau membantu atau
menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya
sebagai tindakan melanggar
hukum.
Apabila hal ini dilakukan di samping merugikan notaris,
para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas sebagai notaris,
diberi sebutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.
Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan yang dilanggar oleh
notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan
notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut
UUJN bahwa akta yang bersangkut
an telah sesuai dengan UUJN, tapi
menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana.
Pemidanaan terhadap Notaris
dapat saja dilakukan
dengan batasan, jika:
a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap
aspek lahir, formal dan materil akta yang disengaja, penuh kesadaran dan
keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau
oleh notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk
melakukan suatu tindak pidana;
b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam
membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang
jika diukur berdasarkan UUJN
tidak sesuai menurut instansi yang berwenang; dan
c. Tindakan
Notaris tersebut juga
tidak sesuai menurut
instansi yang berwenang untuk
menilai tindakan Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana disebutkan di atas dilanggar, artinya di samping
memenuhi rumusan pelanggaran
yang tersebut dalam
UUJN, Kode Etik Notaris juga harus memenuhi rumusan yang
tersebut dalam KUHP.
Bilamana tindakan notaris
memenuhi rumusan suatu
tindak pidana, tetapi ternyata
berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris bukan suatu pelanggaran, maka Notaris
yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena
ukuran untuk menilai
sebuah akta harus
didasarkan pada UUJN dan Kode
Etik Notaris.
Notaris dipidana tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan
tata cara pemanggilan notaris yang terdapat dalam pasal 66 UUJN dan hanya
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja, merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dan dianggap menyepelekan Pasal 66 UUJN.
Menurut Meijers, diperlukan adanya kesalahan besar (hard schuldrecht)
untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan
(wettenschappelijke arbeiders) seperti
Notaris.
Bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang akan memeriksa
Notaris harus dapat membuktikan kesalahan
besar yang dilakukan
Notaris secara intelektuil,
dalam hal ini
kekuatan logika (hukum) yang diperlukan untuk memeriksa Notaris, bukan
logika kekuatan (berarti
kekuasaan) yang diperlukan
dalam memeriksa Notaris.
Notaris tidak berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum
atau kebal terhadap hukum.
Notaris bisa saja dihukum pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa
secara sengaja atau tidak sengaja Notaris bersama-sama dengan para
pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud untuk menguntungkan pihak atau
penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain-lain.
Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta notaris, pihak
penyidik, penuntut umum
dan hakim akan
memasukkan notaris telah melakukan tindakan hukum:
a. Membuat
surat palsu atau
memalsukan (disebut kejahatan
pemalsuan surat), memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan (Pasal
263 ayat (1) dan (2) KUHP).
b. Perbuatan
pemalsuan atau menggunakan
surat-surat yang dipalsukan (Pasal 264 KUHP).
c. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke
dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).
d. Melakukan,
menyuruh melakukan, turut
serta melakukan (Pasal 55 jo.
Pasal 263 ayat (1), (2), Pasal 264, Pasal 266 KUHP).
e. Membantu melakukan suatu perbuatan (Pasal
56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat
(1), (2), Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP).
Menurut teori dan praktik ada beberapa bentuk kepalsuan yang dapat
ditujukan terhadap akta otentik. Tujuan mengajukan tuntutan kepalsuan terhadap
akta otentik, guna untuk melumpuhkan kekuatan pembuktian yang melekat padanya.
Bentuk tuntutan kepalsuan yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Kepalsuan
Intelektual
Tuduhan kepalsuan ini ditujukan terhadap isi keterangan yang tercantum di
dalamnya, berlawanan dengan yang sebenarnya atau tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya. Pemalsuan intelektual dapat terdiri atas:
Pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau
surat, yang mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang
yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami,
bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaran,
hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi yang tidak benar.
2. Kepalsuan
Materiil
Kepalsuan materiil pada dasarnya hampir sama dengan kepalsuan intelektual.
Hanya dalam kepalsuan materiil, tidak hanya ditujukan pada kepalsuan isi,
tetapi juga kebenaran tanda tangan. Seseorang dapat mengingkari kebenaran tanda
tangan yang tercantum dalam akta
otentik. Kepalsuan materiil dapat meliputi:
1) Kepalsuan tanda tangan
2) Kepalsuan dalam bentuk dan isi atas
alasan:
a) Terdapat penghapusan isi
b) Mengandung penukaran
c) Terdapat penambahan
3) Penyalahgunaan tanda tangan di bawah
blanko
Hal lain yang
dapat dituntut untuk
menyangkal akan kebenaran akta otentik
adalah penyalahgunaan tanda
tangan blanko atau abus de
blanc seingn. Pengadilan sering menerima pengajuan keberatan atau
bantahan terhadap peristiwa blanc seign ini baik dalam jual beli atau
utang piutang. Pembeli dan penjual disuruh menandatangani blanko kosong.
Berdasarkan blanko kosong yang ditandatangani itu, terbit akta jual beli atau
akta pengakuan utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar